Demokrasi untuk mencapai keadilan atau Keadilan untuk mencapai Demokrasi ?

0
128
Agus Widjajanto. Foto : Dok - Fajarbadung

Oleh : Agus Widjajanto

Filsuf, penulis dan kritikus budaya asal Jerman yang karyanya sangat mempengaruhi Filsafat kontemporer, Friedrich Wilhelm Nietzsche, 1844 – 1900, menyatakan, demokrasi tidak berperan atas sebuah perubahan masyarakat menuju keadilan, karena dalam demokrasi semua manusia dianggap sama, sederajat. Padahal dalam diri manusia, ada yang kuat ada yang lemah, ada yang pandai ada yang bodoh ada yang miskin ada yang kaya. Demokrasi akan selalu memilih kepada mayoritas, dimana karakteristik masyarakat suatu Negara dalam memilih pemimpin, tergantung pola pikir dan wawasan serta kesepahaman dari para pemimpin yang kebetulan sama dengan mayoritas.

Seperti diketahui, filsafat kontemporer memfokuskan pada berbagai perkembangan terakhir yang terjadi hingga masa kini, yang dimulai pada akhir abad ke-19 yang ditandai oleh suatu proses profesionalisasi disiplin keilmuwan filsafat dan munculnya filsafat analitik dan filsafat kontinental.

Pada jaman kontemporer ilmu pengetahuan mengalami kemajuan sangat cepat dengan berbagai penemuan berupa tehnologi canggih menyangkut ilmu pengetahuan dan tehnologi (Iptek) yang berimplikasi kepada perubahan peradapan manusia.

Paham Friedrich yang disebut sebagai paham Nihilisme ini ada benarnya apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat kita yang tidak merata, baik keadaan sosial dan strata pendidikannya, tentu lebih mudah untuk digiring pada emosional politik dalam memilih pemimpin. Siapa yang dipilih mayoritas, belum tentu merupakan yang terbaik dari masyarakat, itu yang dimaksud dari Friedrich Wilhelm.

Apakah Demokrasi terlebih demokrasi modern saat ini bertujuan untuk mencapai keadilan? Atau sebaliknya, keadilan diciptakan untuk bisa mencapai demokrasi ideal ?
Pertanyaan tersebut secara teoritis selalu mengarah dalam ilmu politik bahwa berdemokrasi adalah untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam filsuf dunia Islam ada banyak sekali filsuf – filsuf terkenal diantaranya, Abu Yusuf Ya’kup Ibnu Ishaq Al Qindi, Ibnu Sina, Imam Al Ghazali. Pendapat Ibnu Sina soal politik dan demokrasi adalah bahwa politik adalah akhlak, dimana akhlak sebagai pembatas hasrat manusia untuk memilih tindakan yang sesuai dengan norma agama, norma masyarakat dalam adat dan budaya sebuah negara.

See also  LPD Bali Jangan Sampai Terdegradasi dengan Kasus Korupsi Saat Ini

Jika akhlak diajarkan dan ditekankan dalam kehidupan social, tentu akan terjadi hubungan yang baik antara sesama individu yang berakibat adanya hubungan baik antar masyarakat. Sehingga akan menjangkau komunikasi yang baik antara masyarakat dengan pemilik kekuasaan atau pemerintahan. Namun dalam praktek, politik yang merupakan tujuan dari demokrasi secara sempit justru pemilik kekuasaan kadang kala melakukan penyimpangan dan memberikan contoh yang tidak baik atau buruk kepada rakyatnya soal akhlak dan etika. Seolah – olah ingin ditunjukan bahwa politik sesungguhnya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kuasa dan materi yang besar.

Ibnu Sina mengakui sebagai murid dari Al Farabi yang mana menurut Al Farabi, penegak hukum atau penguasa kekuasaan haruslah yang memiliki karakter Kenabian (Nubuwwah). Sehingga muncul pendapat para ahli bahwa pendapat Ibnu Sina mengarah pada Teori Nubuwwah bagi para penegak hukum dan pemimpin pemerintahan.

Demokrasi dan politik sendiri tidak bisa dipisahkan dengan Ideologi. Ideologi sendiri berasal dari kata idea yang berarti gagasan atau konsep dan atau ide – ide dasar/cita – cita yang akan dicapai dan kata Logos berarti ilmu, yang secara harfiah ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide ide yang akan dituju, melalui garis kebijakan (The Science Of Ideas).

Indonesia sejak diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, para penddiri bangsa telah sepakat bahwa ideologi kita adalah Pancasila dan paham demokrasi kita adalah Demokrasi Pancasila. Pancasila sebagai Dasar Negara dan falsafah bangsa serta pandangan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia tentu demokrasi juga harus senafas dan sepaham dengan nilai nilai Pancasila.

Namun, dalam praktek dalam berbangsa dan bernegara menyangkut demokrasi saat ini, kita sudah tidak lagi punya jiwa Demokrasi Pancasila dimana dalam sila ke- empat dari Pancasila memiliki makna, demokrasi kita dari awal telah didesain adanya sebuah lembaga perwakilan yang ditunjuk oleh sistem politik kita. Manifestasi dari perwakilan suara rakyat, dimana sejak awal negara ini dibentuk dari ide Pemerintahan Desa adat (Mr. Soepomo). Memiliki perangkat perwakilan dalam mencapai keputusan melalui musyawarah mufakat dari perwakilan agama, pemuda, sesepuh desa, pemerintahan desa dan seterusnya. Itulah sesungguhnya Demokrasi Pancasila.

See also  "Refleksi Sejarah Bangsa, Dalam Kaitan Politik Identitas pada Pemilu

Pada saat Orde Baru dalam pemilu dari tahun 1971 hingga pemilu 1997, menggunakan sistem proporsional tertutup. Dimana pemilih hanya memilih tanda gambar partai saja, nanti partai yang terpilih akan menunjuk anggota partai secara Hirarki, senioritas, nomor urut. Dimana pengalaman politik, emosional dan kondisi ekonomi tentu tidak diragukan lagi. Dengan demikian, saat mewakili rakyat di DPR dan MPR, benar benar secara kualitas, bisa terjaga dan tidak melakukan korupsi.

Demikian juga dari utusan golongan dan utusan daerah adalah memang tokoh tokoh terpilih yang kaya pengalaman dalam organisasi kemasyarakatan, begitu juga Gubernur dan Bupati, yang akan memberikan suara sebagai wakil dari aspirasi daerahnya. Anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang memilih dan mengangkat Presiden sebagai mandataris MPR. Ada Garis Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) yang menjadi acuan arah tujuan negara sesuai tahapan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).

Sedang sekarang, Pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka, yang artinya pemilih langsung memilih wakil rakyat dari partai politik. Pemilihan langsung, Presiden dan Wakil Presiden maupun Legislatif, DPR RI, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten /Kota, dan DPD membutuhkan cost yang sangat besar, menguras APBN kita.

Selain itu, banyak calon anggota legislatif belum berpengalaman di politik maupun organisasi, belum mapan secara ekonomi, muncul seiring hadirnya banyak Partai Politik. Bahkan banyak Caleg yang terlilit hutang. Begitu gagal maka banyak yang depresi, karena sudah gadaikan rumah atau jual tanah dan lainnya untuk menjadi Caleg. Demokrasi kita sudah berorientasi sama dengan sistem politik liberal di Eropa dan Amerika, bukan lagi sistem politik Demokrasi Pancasila.

See also  Indonesia Bebas Korupsi, Belajar dari Negara Inggris dan Denmark

Pada akhirnya bahwa yang harusnya sesuai bunyi Undang – Undang bahwa politik dan demokrasi punya tujuan yang mulia agar bisa menegakkan keadilan baik secara hukum maupun secara sosial ekonomi hanya jadi slogan belaka.

Melihat kondisi demokrasi di negara kita saat ini, ada pertanyaan menggelitik, Keadilan untuk mencapai demokrasi atau sebaliknya, demokrasi untuk mencapai keadilan?
Diakui atau tidak, kita sudah kehilangan arah dan kiblat (kompas) dalam berdemokrasi. Bukan lagi demokrasi ala Indonesia sesuai karakteristik bangsa yaitu Demokrasi Pancasila, tapi sudah menjurus pada Demokrasi Modern, yakni demokrasi dan sistem politik Liberal. Jika kita berkiblat pada Demokrasi Pancasila sesuai nilai – nilai Pancasila, sebagaimana pendapat Ibnu Sina dan Al Arabi, maka demokrasi tujuannya adalah untuk keadilan, baik keadilan dalam hukum maupun keadilan sosial ekonomi bagi rakyat nya, seperti yang dicita citakan proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 dan sila ke-lima dari Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia **

Penulis, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya, tinggal di Jakarta.

(Visited 1 times, 1 visits today)