DENPASAR, Fajarbadung.com – KPK mengendus jika banyak pengusaha tambang di Bali yang ngemplang pajak. Bukan hanya itu. Banyak izin tambang di Bali yang ilegal sehingga operasional tambang galian C tetap berjalan. Kondisi ini terjadi karena banyak pejabat di daerah yang diduga KKN dengan pengusaha tambang. Kasatgas Korsup Wilayah V KPK Dian Patria mengatakan, di Bali pihaknya baru menemukan satu pengusaha tambang yang utang pajak hingga Rp 2,5 miliar. “Kita akui jika perusahan tambang tersebut punya izin resmi. Bahkan dia mensuplai material hingga ke Lombok dan beberapa wilayah lainnya. Rata-rata dalam sebulan membawa 2 sampai 3 tongkang material keluar Bali. Kalau ditotal bisa jutaan kubik pertahun. Tapi ternyata dia belum bayar pajak hingga Rp 2,5 miliar. Ini ada di wilayah Karangasem. Kalau bisa Bapenda Karangasem harus bertindak, segel, tutup usahanya, cabut perizinannya dan kalau bisa pasang plang di tempat usaha bahwa usaha ini belum bayar pajak,” ujarnya di Kantor Gubernur Bali, Senin (27/6/2022).
Menurut Dian Patria, usaha tambang yang diketahui belum bayar pajak itu baru satu. Ia yakin masih banyak tambang yang tidak bayar pajak. Padahal untuk bayar pajak tidak perlu diketahui apakah sudah ada izin atau belum. Begitu aktifitas penambangan dimulai maka di saat itu pula bayar harus dibayar. Tidak perlu menunggu izin atau tidak. “Tapi yang terjadi di Bali itu sebaliknya. Ada dugaa pejabatnya KKN. Dalam pengawasan kami, mayoritas tambang di Bali tidak transparan atau belum transparan soal pajak. Pengawasan dari pejabat juga sangat lemah. Sebab ada dugaan kuat jika tambang di Bali ada banyak backing, pejabat, kekuasaan di belakangnya,” ujarnya.
KPK sendiri memiliki dugaan ketidakberesan urusan tambang di Bali. Beberapa di antaranya adalah pengawasan yang lemah, banyak ekspor ilegal, dampak lingkungan yang rusak mulai dari DAS, hutan lindung, kawasan suci, lahan produktif yang akhirnya dijadikan tambang. Selain itu ada juga semacam reinkarnasi izin usaha pertambangan (IUP) sehingga banyak penambang ilegal. Ada 93 titik tambang di Bali baik skala besar maupun kecil. Kondisi ini tentu berakibat pada dampak ekologis dan ekonomi yang tidak sedikit. “Jangan sampai karena duit, kita merusak alam seenaknya. Lama kelamaan Bali akan habis juga. Lingkungan rusak. Bali yang indah akan hilang,” ujarnya.
Sementara itu Koordinator Perencanaan dan Pelaporan Sekretaris Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Nelyanti Siregar mengatakan, Bali termasuk salah satu provinsi dengan tata Kelolah tambang yang buruk. Sebab, sejak kebijakan untuk mengembalikan izin pertambangan ke daerah, tata kelolah tambang Bali sangat lamban dan terkesan membiarkan itu semua berjalan sendiri. “Bali ini pulau kecil. Bali adalah destinasi wisata dunia. Kerusakan di salah satu titik di Bali saja bisa fatal untuk keseluruhan yang ada di Bali. Ada 93 titik itu yang terdata dan terlapor. Kita tidak tahu ada usah kecil-kecilan. Misalnya hanya satu dua hektar. Pemiliknya beranggapan bahwa itu lahan miliknya sehingga dia bisa melakukan apa saja. Padahal hak mereka adalah di atas permukaan. Kalau mau menambah harus berizin,” ujarnya. Namun faktanya, banyak yang ilegal di Bali.
Kepala Sub Koordinasi Unit Pertambangan Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Bali I Nyoman Wiratma Juniartha mengatakan, memang banyak tambang di Bali yang belum memiliki izin. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan regulasi melalui UU Nomor 3 Tahun 2020 dimana mereka harus wajib ajukan ke pusat untuk perpanjangan izin. Akhirnya sampai batas waktu masa berlaku izin selesai sementara izin baru belum keluar. “Akhirnya mereka tetap beroperasi walau belum perpanjang izin sehingga jadilah mereka beroperasi secara ilegal,” ujarnya. Kemudian keluar Perpres Nomor 55 tahun 2020 bahwa izin dikembalikan ke daerah. Semua pengusaha harus mengajukan lagi di daerah. “Persoalan lain muncul adalah izin di provinsi. Pajaknya dipungut oleh daerah. Lalu siapa yang melakukan pengawasan,” tanyanya.(ad)