JAKARTA, Fajarbadung.com – Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Rumadi Ahmad mengatakan, penjemputan kembali penyintas warga Sampang korban konflik keagamaan merupakan wujud komitmen Presiden Joko Widodo dalam menuntaskan penyelesaian konflik sosial keagamaan masa lalu. Rumadi menyampaikan ini menanggapi penjemputan 265 jiwa dari 62 KK penyintas warga Sampang korban konflik keagamaan, di pengungsian Jemundo, Sidoarjo, pada Kamis (4/5).
Sebagai informasi, penjemputan ini merupakan kali kedua. Penjemputan pertama penyintas warga Sampang korban konflik keagamaan dilakukan pada 29 April 2022. Yakni, sebanyak 53 jiwa dari 14 KK. Dengan penjemputan tahap kedua tersebut, warga Sampang yang masih tinggal di pengungsian Jemundo masih 25 jiwa dari 5 KK.
Menurut Rumadi, penjemputan secara bertahap penyintas warga Sampang korban konflik keagamaan menunjukkan pemerintah terus bekerja melakukan proses rekonsiliasi dan cipta kondisi. Agar warga Sampang yang sudah 12 tahun di pengungsian bisa pulang ke kampung halamannya.
“Proses rekonsiliasi warga Sampang yang pernah terlibat konflik keagamaan sehingga terjadi pengusiran, bukan hal yang mudah. Dibutuhkan kesabaran, ketekunan dan kerjasama semua pihak sehingga warga Sampang yang terlibat konflik itu mau berkomunikasi sampai akhirnya mereka mau menjemput saudaranya sendiri yang dulu pernah dimusuhi,” kata Rumadi, di gedung Bina Graha, Jakarta, Jum’at (5/5).
Rumadi yang intens mengawal proses penjemputan penyintas warga Sampang ini juga memberikan apresiasi kepada semua pihak, baik dari unsur masyarakat dan Kementerian/Lembaga, khususnya Bupati Sampang Slamet Junaidi, yang berani mengambil prakarsa dan terobosan-terobosan. Sehingga tumbuh saling percaya diantara warga yang dulu terlibat konflik. “Tanpa prakarsa untuk menumbuhkan sikap saling percaya proses rekonsiliasi tidak pernah terjadi,” tuturnya.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V ini berharap, peristiwa konflik Sampang menjadi pelajaran bagi seluruh kompenen bangsa agar semakin dewasa dalam menyikapi berbagai perbedaan. Sebab, jika konflik pecah menjadi kekerasan, butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka sosial itu. “Keanekaragaman bangsa Indonesia harus kita jaga. Toleransi harus terus menerus kita tumbuhkan,”pesannya.*Chris