JAKARTA, The East Indonesia – Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Brigjen TNI (Purn) dr. Noch T Mallisa menekankan pentingnya ketersediaan akses jamban sehat bagi masyarakat demi mempercepat penurunan angka gagal tumbuh atau stunting di Indonesia. Terlebih, Presiden Joko Widodo telah mentargetkan penurunan angka stunting 14 persen pada 2024.
Mallisa mengatakan, ketersediaan jamban sehat dan memadai dapat meminimalisir terjadinya kontaminasi lingkungan dan penyebaran penyakit. Hal ini sangat penting untuk mengurangi risiko infeksi saluran pencernaan dan penyakit diare yang dapat menyebabkan kekurangan gizi dan stunting pada anak-anak.
“WC for all itu sangat penting. Dalam arti jamban yang sehat. Sebab ini menjadi salah satu indikator untuk menurunkan stunting. Tapi berapa besar potensinya untuk penurunan angka stunting, itu yang kami minta untuk dilakukan risetnya,” kata Mallisa usai menerima audensi pakar sanitasi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Dr. dr Budi Laksono, MHSc, di gedung Bina Graha Jakarta, Rabu (10/5).
“Jika nanti sudah diketahui berapa besar penurunan stunting yang bisa dilakukan dari ketersediaan jamban sehat, KSP akan menginisiasi pembangunan jamban sehat untuk masyarakat, tentunya bersinergi dengan kementeria/lembaga,” tambahnya.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi telah mengamanatkan penanganan stunting di Indonesia harus dilakukan secara terintegrasi oleh kementerian/lembaga terkait. Sebab, masalah stunting tidak hanya terkait dengan makanan dan gizi, namun juga dengan lingkungan dan sanitasi, khususnya akses ke jamban yang sehat.
Pakar Sanitasi, Dr. dr Budi Laksono, MHSc mengungkapkan, pada 2021 masih terdapat 14,9 juta keluarga di Indonesia yang tidak memiliki jamban. Hal ini, memiliki implikasi yang signifikan bagi Indonesia. Bukan hanya pada bidang kesehatan, namun juga pada pembangunan sumber daya manusia dan ekonomi.
“Penyakit nomor satu dan dua itu adalah penyakit yang berkaitan dengan pencernaan, seperti tifoid dan diare. Tingginya kasus penyakit tersebut banyak menghabiskan anggaran kesehatan,” ungkapnya.
Budi yang pernah menggagas gerakan 20 juta jamban untuk masyarakat ini menilai, salah satu tantangan untuk meningkatkan kualitas sanitasi di Indonesia dengan membangun jamban, yakni masih adanya persepsi di masyarakat, bahwa jamban itu harus bertembok dan beralas keramik. Namun, pada kenyataanya jamban tersebut belum tentu bisa disebut jamban yang sehat.
“Sehat tidaknya jamban ditentukan oleh fungsi dan kemampuannya dalam menyimpan fases secara kedap, tidak mengalirkan fases pada sumber air, dan memiliki chemical chamber untuk mengolah fases. Jadi bukan dilihat dari tembok atau keramiknya. Persepsi ini yang harus diubah,” tuturnya.
Untuk itu, sambung Budi, ketersediaan jamban murah dan sehat menjadi penting demi mencegah persebaran patogen yang membahayakan sistem pencernaan manusia. “Penyakit – penyakit pencernaan seperti diare ini mengancam kehidupan anak. Ini yang harus diselamatkan,” pungkasnya.**Chris