JAKARTA, Fajarbadung.com – Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, menegaskan penerapan perdagangan karbon di Indonesia harus berjalan optimal sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir pada Oktober 2024. Ia pun menekankan pentingnya percepatan penyusunan dan harmonisasi regulasi, khususnya pada sektor-sektor yang ada di dalam Nationally Determine Contribution (NDC). Diantaranya, terkait energi, limbah, proses industri, serta penggunaan produk pertanian, kehutanan, dan sektor lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya blue carbon.
“Carbon Trading ini program Presiden. Untuk itu akselerasi penting dilakukan sambil tetap memperhatikan arahan Presiden, yaitu membentuk ekosistem ekonomi karbon yang berintegritas, inklusif, transparan dan berkeadilan,” katanya saat menerima kedatangan Dirjen Pengendalian dan Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanti, di gedung Bina Graha, Jum’at siang (19/4).
Moeldoko mengatakan percepatan penyusunan dan harmonisasi regulasi terkait perdagangan karbon dibutuhkan agar Indonesia bisa menangkap potensi ekonomi pasar yang besar, baik melalui perdagangan karbon secara bilateral maupun mekanisme bursa karbon.
Lebih lanjut, Panglima TNI 2013-2015 ini menambahkan, potensi perdagangan karbon di Indonesia sangat besar karena memiliki kekayaan alam khususnya dengan banyaknya hutan tropis, padang rumput beriklim sedang, serta keanekaragaman hayati laut dan pesisir (blue carbon) berupa mangrove, padang lamun, serta rumput laut yang dapat menjadi sumber penyerapan karbon dan sangat penting dalam mengatasi krisis iklim.
“Sumber daya kita besar, potensi pasarnya juga besar, demand sudah ada. Namun carbon trading dan bursa karbon belum berjalan sesuai harapan. Kendalanya ada di proses penyusunan dan harmonisasi regulasi, seperti terkait pajak karbon dan penetapan ambang batas emisi karbon (PT BAE) pada beberapa sektor. Ini yang harus segera diselesaikan,” terangnya.
Sementara itu, Dirjen PPI-KLHK, Laksmi Dewanti, menjelaskan dalam membuat regulasi, KLHK memastikan ukuran-ukuran yang ditetapkan dalam perdagangan karbon dapat berkontribusi pada pengurangan emisi sesuai target Nationally Determine Contribution (NDC) dalam Paris Agreement.
Ia menuturkan ada dua bentuk perdagangan karbon yang bisa dilakukan di Indonesia. Pertama, perdagangan emisi. Di mana yang dijual adalah batas emisi atau persetujuan batas atas emisi. Kedua, offset emission, yakni perdagangan karbon yang mengacu pada transaksi jual beli sertifikat pengurangan emisi. “Rencananya Juni 2024 ini KLHK akan melaunching Peraturan Menteri LHK terkait perdagangan karbon luar negeri hasil dari pilot project perdagangan karbon tersebut,” ujarnya.
“Saat ini yang sudah berjalan dengan baik adalah Result Based Payment (RBP). Jadi Indonesia mendapatkan pembayaran atas kinerja dalam menjaga emisi Karbon, seperti pembayaran dari Green Climate Fund (GCF) dan Norwegia,” imbuh Laksmi.
Sebagai informasi, perdagangan karbon di Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021, dan Peraturan Menteri LHK 21/2022. Perdagangan karbon melalui bursa diresmikan oleh Presiden Joko Widodo di Bursa Karbon Indonesia (BKI), pada 26 September 2023.**Chris