Gelar Diskusi dengan GUPBI Bali, PENA NTT Dorong Segera Bentuk GUPBI NTT

0
222

DENPASAR, FAJAR BADUNG – Babi merupakan salah satu primadona peternak di Bali. Selain sebagai penopang ekonomi, ternak kaki empat ini juga merupakan bagian yang tidak terpisah dari kehidupan sosial masyarakat Bali. Babi kerap ditemukan dalam berbagai ritual adat. Walau demikian, dunia peternakan babi ternyata memiliki berbagai aspek untuk ditelaah.

Untuk itu jurnalis di Denpasar yang tergabung dalam PENA NTT mengggelar diskusi dengan tema ‘Ternak Bali Penopang Ekonomi Bali’ pada Sabtu (25/2/2023) di Cafe PICA, Pojok Sudirman, Denpasar. Hadir dalam diskusi ini sejumlah anggota PENA NTT, perwakilan peternak asal Desa Luwus – Tabanan, pendamping peternak Agung Fajar serta sejumlah insan pers. Dalam diskusi yang berlangsung selama  kurang lebih dua jam itu, PENA NTT juga mendorong segera terbentuknya GUPBI NTT.

Dalam diskusi ini diangkat sejumlah persoalan dan peluang yang bisa dijajaki. Mulai dari masalah kemitraan, penyakit yang kerap melanda ternak babi, bagaimana menekan harga pokok Produksi (HPP) sampai tantangan dalam tata niaga babi khususnya perdagangan antar pulau.

Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi – Indonesia (GUPBI), Ketut Hari Suyasa menyoroti sistem kemitraan inti plasma di Bali. Menurutnya sering ditemukan praktek yang tidak sinkron dan cenderung melanggengkan praktek monopoli. Misalnya pabrik atau distributor pakan yang seharusnya bermitra dengan petani pemasok bahan baku. Tapi dalam kenyataan produsen pakan malah bermitra dengan peternak khususnya babi.

See also  Ribuan Umat Mengikuti Ritual Tawur Agung di Pura Luhur Batukau

Menurutnya, pola yang baik adalah jika perusahaan yang bergerak di bidang prosesing kekurangan bahan baku daging maka kemitraan yang dibangun dengan peternak.

“Ada yang salah dalam kemitraan misalnya pabrik pakan. Seharusnya dia bermitra dengan petani penghasil bahan baku seperti jagung atau kedelai misalnya. Ini malah mereka bermitra dengan peternak, sudah salah itu,” kata Suyasa.

Selain kemitraan yang merugikan peternak, dunia ternak babi juga kerap dihantam berbagai serangan penyakit. Mulai dari penyakit Mulut dan Kaki (PMK) hingga virus flu babi Africa atau dikenal dengan African Swine Fever (ASF). Pada tahun 2019 lalu terjadi kematian hebat babi di Bali.

Beruntung peternak di Bali cepat tanggap dan cerdas menangani PMK sehingga tidak cepat menyebar. “Memang ada letupan tapi masyarakat kita sudah cerdas tangani PMK sehingga tidak menyebar. Sejak tahun 2021 peternakan kita sudah mulai bangkit,” kata Suyasa.

See also  Cok Ace Minta Petugas Bandara Perketat Penggunaan Thermal Scanner

Dalam kesempatan ini Suyasa berharap ada kolaborasi yang baik antara Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bali. Mengingat dua wilayah ini memiliki karakter yang hampir sama terkait peternakan. Terutama dalam hal pertukaran pengetahuan beternak hingga peluang usaha. Tentu dengan tetap memperhatikan Kesehatan lalu lintas ternak.

Bahkan tidak tertutup kemungkinan GUPBI juga bisa hadir di NTT. Dengan adanya organisasi maka perjuangan peternak bisa disuarakan lewat satu pintu.

“Kita berharap ada koneksi yang jelas antara kebutuhan babi di NTT dan kesiapan Bali. Bisa bantu banyak orang, tapi jangan terlalu terbuka. Karena kalau terlalu terbuka juga bisa merusak,” ucap Suyasa.

Sementara itu dalam kesempatan ini ketua kelompok tani Ternak Panca Sejati, Luwus, Tabanan, Wayan Artana mengatakan pada tingkat akar rumput memang peternak sempat kolaps akibat penyakit yang melanda. Diperparah daya serap pasar yang turun akibat covid – 19. Untuk menyiasati hal itu peternak khususnya di kelompok Panca Sejati melakukan terobosan pembuatan pakan fermentasi.

See also  Dampak WNA Meninggal di Bali, 21 Orang Diisolasi di Rumah Masing-Masing

Terobosan ini telah berjalanan hamper dua tahun. Kini peternak bisa merasakan manfaatnya memalui penurunan Harga Pokok Produksi (HPP). Pasalnya pakan fermentasi berhasil melepaskan peternak dari jerat ketergantungan pada pakan pabrik, sebab pakan fermentasi menggunakan sumber daya local sebgaai bahan baku. Di sisi lain pakan fermentasi menghasilkan dengan kualitas baik serta menghilangkan aroma tidak sedap kendang akibat polusi kotoran.

“Kami di Luwus baru kembangkan pakan fermentasi. Dalam dua kali panen kami rada ringan beternak, pola beternak baru yang sangat hemat. bisa turunkan HPP sampai 60 persen,” ucap Artana.***

(Visited 3 times, 1 visits today)