Catatan paradoks; Paradoks Wayan Suyadnya
Kemacetan juga menjadi paradoks di Bali. Di saat jalanan lengang dan sepi seperti saat ini, kemacetan juga terjadi di beberapa kawasan di Bal.
Seperti kemarin, saat kami berkeliling ke beberapa tempat wisata, kemacetan tak terelakkan. Jalan menuju Desa Wisata Penglipuran dan jalur sepanjang Penelokan Kintamani menjadi saksi betapa padatnya arus kendaraan saat liburan kemarin.
Dari kemacetan ini, penyebabnya begitu jelas; pada saat bersamaan, banyak kendaraan menuju satu titik, sementara kapasitas jalan tak mampu menampungnya.
Akibatnya, kemacetan pun terjadi. Beruntung, kemacetan yang dialami bukanlah total—kendaraan tetap bisa berjalan, meski merayap perlahan bak beduda.
Kemarin hari kelima libur dan cuti bersama. Kami berangkat dari Denpasar pada tengah hari, melalui jalur Bypass Ngurah Rai, Prof. Mantra, Gianyar, lanjut ke Klungkung, dan Bangli.
Tujuan pertama adalah Rumah Makan Bagong, yang dikenal dengan menu khasnya: mujair nyatnyat.
Perjalanan dari Denpasar ke Bangli berjalan lancar. Jalanan lengang, tanpa hambatan berarti. Tanpa perlu ngebut, kami tiba tepat waktu.
Sesampainya di Rumah Makan Bagong, kami segera memesan mujair nyatnyat. Tak perlu menunggu lama, hidangan pun datang. Lezatnya membuat kami makan dengan lahap.
Selepas makan, kami melanjutkan perjalanan ke Kintamani untuk menikmati secangkir kopi di tengah kesejukan udara pegunungan.
Namun, inilah paradoksnya: justru di saat Bali terasa lengang, jalanan sepi, kemacetan terjadi. Jalan kecil menuju Desa Wisata Penglipuran tampak merayap. Antrean kendaraan tak terhindarkan, sementara petugas lalu lintas sibuk mengatur arus kendaraan. Mobil-mobil berpelat luar Bali mendominasi pemandangan.
Perjalanan dilanjutkan ke Kintamani. Namun, sebelum mencapai Penelokan, kemacetan kembali menyambut kami. Kendaraan memadati jalur dari arah timur ke barat dan sebaliknya.
Hujan yang turun menambah kesan sesak. Mobil-mobil berjalan perlahan, beriringan seperti barisan semut yang tak henti-hentinya bergerak maju.
Kemacetan ini mengingatkan kami pada rencana Karya Agung di Besakih, yakni upacara Bhatara Turun Kabeh yang akan digelar mulai Purnama Sasih Kedasa, 12 April mendatang. Pada saat yang sama, upacara besar juga akan berlangsung di Pura Batur Kintamani. Ribuan umat Hindu dari seluruh Bali dan luar daerah akan berdatangan untuk bersembahyang.
Jika alur kendaraan tidak diatur dengan baik, jika jadwal tidak dipatuhi, jalanan bisa menjadi lebih padat dari kemarin.
Oleh karena itu, ketertiban sangat penting. Mengikuti jadwal yang telah ditetapkan panitia adalah kunci agar kendaraan tidak menumpuk dalam waktu bersamaan.
Pengaturan lalu lintas harus tegas. Beruntung, Besakih sudah memiliki area parkir yang representatif, sehingga kendaraan bisa tertata dengan baik.
Harapan yang sama tertuju pada Batur Kintamani, agar segala sesuatunya lebih teratur dan lancar. Perlu areal parkir yang luas, perlu juga jalan baru agar tak menumpuk di satu jalur sebagaimana yang ada sekarang. Bangunan yang ada di selanjang jalan itu juga harus ditata dengan baik agar tidak menjadi biang kemacetan, juga perlu menghitung daya dukung Penelokan agar tak terjadi longsor dan bencana alam yang lain.
Bali memang penuh paradoks. Meski tampak lengang, kemacetan tetap mengintai. Kesadaran bersama dalam mengatur perjalanan dan ketertiban di jalan menjadi kunci untuk menikmati keindahan pulau ini tanpa harus terjebak dalam kekacauan lalu lintas.
Tak hanya Desa Wisata Pangelipuran dan Penelokan Kintamani, tempat-tempat wisata lainnya di pulau Bali terancam macet jika tak ada kesadaran kolektif dan ketegasan petugas mentaati aturan berlalu-lintas yang baik dan benar.
Denpasar, 3 April 2025