Oleh: Arnoldus Dhae
Akhir-akhir ini kata “Sambo” menjadi sangat terkenal di Republik Indonesia tercinta ini. Kata ini mudah diingat anak bangsa dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Ternyata kata ini berawal dari nama seorang jenderal polisi yakni Irjen Pol Ferdy Sambo yang terlibat dalam kasus penembakan terhadap Brigadir J. Kasus ini menghebohkan publik ini. Dalam waktu yang relatif singkat kasus ini begitu terkenal mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Mereka bahkan mampu menghafal para pelaku dalam kasus ini. Ada Putri Candrawati, ada Om Kuat, ada Brigadir RR, ada Susi, ada Bharada E. Dari semua pelaku ini yang paling terkenal adalah Irjen Pol Ferdy Sambo. Walau belum ada putusan pengadilan, publik Indonesia sudah memutuskan bahwa mantan Kadiv Propam Mabes Polri ini menjadi otak dari pembunuhan terhadap Brigadir J. Disinilah kata “Sambo” mulai dikenal publik dan menjadi kata yang seringkali diucapkan.
Namun apa dampaknya? Dampak dari kasus ini adalah institusi Polri yang kita cintai ini menjadi bulan-bulanan publik Indonesia. Di beberapa titik di Jawa Barat, DKI Jakarta, kata “Sambo” menjadi ejekan buat Polri. Ada konvoi mobil Polri langsung diteriaki “Sambo”. Ada anggota Polri kawal pejabat, juga diteriaki “Sambo”. Di Flores, Maumere misalnya, beberapa mahasiswa IFT Ledalero ditahan dan diinterogasi karena meneriaki Sambo terhadap anggota Polri setempat. Bahkan ada seorang anggota Brimob berpangkat rendah yang pulang berdinas menggunakan sepeda motor butut, menenteng senjata di pundaknya, juga diteriaki “Sambo”. Kata “Sambo” membuat tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Polri terjun bebas.
Lalu apa itu Thought Experiment? Terjemahan nya adalah experimen berpikir. Sejak awal teori ini sudah menjadi perdebatan. Paradoks tentang eksperimen berpikir berasal dari bagaimana para ahli menemukan suatu konsep dan teori melalui proses berpikir imajinasi terhadap fenomena sosial dan alam semesta. Eksperimen berpikir merupakan proses penalaran berdasarkan hasil pemikiran yang dapat diwujudkan dalam percobaan maupun secara imajinatif. Kita perlu merujuk pada beberapa tokoh atau ilmuwan terkenal dunia. Para tokoh dan ilmuwan ini selalu menggunakan eksperimen berpikir yang sangat kuat terhadap teori yang telah mereka gagas sampai saat ini. Misalnya eksperimen pikiran Galileo tentang gerak jatuh bebas yang menyingkirkan teori Aristoteles. Isaac Newton mengemukakan teori tentang percepatan gravitasi. Albert Einstein tentang gejala relativitas. Maxwell tentang teori medan elektromagnetik. Fenomena yang berkaitan dengan Hukum Newton banyak sekali dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti gerak relatif benda, gerak dalam lift, dan kecepatan benda. Fenomena ini dapat dijelaskan secara eksperimen berpikir dengan melalui proses tahapan-tahapan berpikirnya secara prosedural.
Dari semua ilmuwan tersebut, saya ingin merujuk pada filsuf asal Jerman Albert Einstein. Dia menggunakan diksi yang lebih menukik tajam yakni experimen imajiner. Bahwa ketika melihat sebuah fenomena yang mengglobal, yang terpana, yang mengagumkan, yang mengejutkan, yang mengunci pemikiran publik maka yang awal terjadi dalam proses aktifitas manusia adalah imajinasi. Manusia mencoba berimajinasi tentang sesuatu. Imajinasi itu kemudian diuji dengan fakta, dengan teori yang bisa dipakai untuk mengukur kadar kebenaran, ketepatan yang valid. Namun saya ingin menegaskan bahwa Albert Einstein tidak semuanya benar. Sebab, experimen imajiner tidak semuanya benar atau minimal tidak bisa mewakili kebenaran yang hakiki dari fenomena tersebut. Semuanya itu akan sangat sulit atau tidak mungkin-dirangkum dalam satu eksperimen imajiner yang utuh, sehingga bisa diambil kesimpulan yang tepat dan benar. Dengan demikian eksperimen imajinernya Albert Einstein adalah suatu eksperimen imajiner yang tidak lengkap (incomprehensive) dan cenderung menyesatkan. Memang ada beberapa eksperimen imajiner lainnya misalnya menjelaskan cahaya ‘melengkung’ (light bending), namun merupakan eksperimen imajiner parsial — kasus per kasus-dan tidak bisa digunakan untuk mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Karena tidak lengkap dan cenderung salah maka suatu prinsip yang diambil dari eksperimen imajiner itu tidak bisa dibenarkan secara ilmiah, alias salah. Einstein’s equivalence prinsiple is false.
Kesalahan Eksperimen imajiner dan Prinsip Kesetaraan Einstein tampak dengan jelas, mengingat hasil pemikiran Einstein itu dilakukan sekitar tahun 1915 atau sebelumnya, di mana pada waktu itu pengetahuan tentang gravitasi belum berkembang seperti sekarang ini. Pada masa itu kekuatan gaya gravitasi bumi di semua tempat adalah sama: 9,81 m/s2. Namun dewasa ini sudah diketahui bahwa kekuatan gaya gravitasi di permukaan bumi/di masing-masing tempat tidak sama. Jadi hukum gravitasinya Einstein tidak berisi apa-apa tentang gaya /kekuatan. Tapi menggambarkan perilaku objek dalam medan gravitasi planet-planet, misalnya, tidak dalam hal “gaya tarik” tetapi hanya dalam hal jalan yang mereka ikuti. Bagi Einstein, gravitasi hanya bagian dari inersia; pergerakan bintang dan planet-planet timbul dari inersia yang melekat pada mereka, dan lintasan yang mereka lalui yang ditentukan oleh sifat metrik ruang — atau, lebih tepatnya, sifat kontinum dari metrik ruang-waktu.
Setiap orang yang mempelajari teorinya Enstein dan membaca eksperimen imajinernya (thought experiment) di atas, pertama kali akan terkesan dan kagum, dan lalu membenarkan gagasan Einstein tentang gravitasi sesuai imajinasi tersebut, bahwa gravitasi bukan suatu gaya/force, melainkan suatu kelembanan atau gerak dari suatu obyek mengikuti lengkungan di ruang /space atau Lengkungan Ruang-Waktu atau ‘curved space’. Tidak ada gaya tarik-menarik antara bintang dan planet-planet. Benarkah kesimpulan yang diambil oleh Einstein dari eksperimen imajinernya di atas, bahwa gravitasi bukan gaya atau ‘force’, melainkan bagian dari inersia (kecenderungan semua benda untuk menolak perubahan karena geraknya) yang ditentukan oleh sifat metrik ruang? Hanya waktu yang bisa membuktikan.
Lalu apa hubungannya dengan teriakan “Sambo” yang menjalar dan menggema seantero negeri tercinta ini. Kita perlu uji pemikiran hipotetis dari kasus ini. Pertama, kita harus akui kasus ini sudah on process dan on the track. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah bergerak cepat menjawabi kecemasan publik. Namun bagaimana dengan terikan “Sambo”. Teriakan “Sambo” adalah efek dari imajinasi publik Indonesia yang kuatir, cemas, tidak percaya dengan institusi Polri. Ini adalah perilaku obyek dalam medan gravitasi sosial. Ada gerakan imajinasi sosial secara serentak dalam waktu yang sama. Ini adalah hukum alam dan semua tidak bisa melawannya. Dalam batasan tertentu ini sangat wajar. Polri, baik sebagai institusi maupun pribadi tidak perlu sensitif. Tidak perlu reaktif, apalagi sampai berbalas teriak, mencaci-maki dan bahkan menangkap dan menahan, menginterogasi. Teriakan kata “Sambo” adalah bentuk inersia publik Indonesia yang reaktif. Dan ini sudah menjadi karakter anak bangsa ini. Kedua, sebaliknya dari internal Polri Satu-satunya cara untuk membalas teriakan “Sambo” adalah dengan menunjukan kinerja. Ini adalah force-nya Polri saat ini. Perlu tercipta sebuah kekuatan, force, di tengah gravitasi sosial saat ini. Dan yang di depan mata saat ini adalah hukum Irjen Pol Ferdy Sambo, Bharada E, RR, Om Kuat, PC. Hukumlah para pelaku ini setimpal, adil. Berantas judi online yang terlanjur mencuat ke publik yang diduga melibatkan oknum Polri.
Ketiga, publik Indoneia sesungguhnya harus belajar lebih cerdas, santun, bermartabat. Institusi Polri sesungguhnya menjadi korban dari kasus Sambo dan kroninya. Adilkah kita kalau teriakan “Sambo” ditujukan kepada seorang anggota Polri yang ada di pelosok, bertugas di desa nan sunyi, menggunakan kendaraan butut walau menenteng senjata di pundaknya. Adilkah kita meneriaki “Sambo” untuk kelompok anggota berpangkat rendah yang sedang konvoi mengawal fasilitas publik, mengawal event berskala besar, yang sedang berjibaku menolong warga yang ditimpa bencana alam. Setimpalkah teriakan “Sambo” itu untuk memperbaiki institusi yang kita kritik. Masih banyak anggota Polri yang baik, yang jumlahnya berlipat-lipat dibanding Sambo Cs. Institusi Polri sudab jadi korban stereotip Sambo.