Oleh Wayan Suyadnya
Jumat, 28 Maret 2025, siang ini sudah terlihat ada diantara kalangan muda kita keluar bersama ogoh-ogoh yang siap diarak keliling.
Pemuda kita sungguh luar biasa. Berhari-hari begadang, menyisihkan uang dari saku sendiri, mengerahkan tenaga dan pikiran, hingga akhirnya ogoh-ogoh megah itu berdiri.
Semangat kalian tak terbantahkan. Malam ini, saat Pangerupukan, ogoh-ogoh itu akan menari, berputar, menggoda sorak sorai penonton, membuat dunia menjadi semarak.
Wajah-wajah yang seharusnya menyeramkan justru menjadi hiburan, bukan ketakutan.
Anak-anakku, apakah yang kalian laksanakan ini kewajiban agama, atau sekadar menunaikan tradisi budaya agama semata?
Pawai ogoh-ogoh begitu semarak, kalian para pemuda berlomba membuat yang paling besar, paling artistik, paling mengguncang jalanan.
Apakah di antara hiruk-pikuk itu, kalian menyempatkan diri mengikuti prosesi Tawur Agung Kesanga? Apakah ada yang meluangkan waktu sejenak untuk ngaturang puja bakti sebagai tanda melaksanakan tawur agung yang hanya sekali dalam setahun ini?
Janganlah kalian larut dalam baleganjur yang berdendang di pinggir jalan, dan gemuruh teriakan yang mengagung-agungkan itu hingga melupakan mantra-mantra suci?
Ingatlah, jika ogoh-ogoh yang kalian buat dengan susah payah, dengan biaya tak sedikit, tak lantas memberikan makna yang positif lalu apa arti semua itu? Janganlah ogoh-ogoh kalian jadikan sekadar tontonan dan melaksanakan budaya agama semata.
Jika demikian apa yang kita bisa wariskan untuk generasi mendatang? Jika semua hanya tentang karnaval dan bukan tentang keseimbangan antara manusia, alam, dan para bhuta kala, di mana letak esensi spiritualitas perayaan hari suci?
Janganlah ini dijadikan paradoks, apalagi terlegitimasi oleh tetua, menjadikannya bagian dari tradisi semata, lalu pemerintah mendukungnya, akademisi mengkaji sebagai ekspresi seni, jika itu yang terjadi semua menjadi sia-sia.
Jadikanlah ogoh-ogoh media edukasi yang positif.
Besok, saat Catur Brata Nyepi dimulai, kita akan masuk ke dalam sunyi. Amati lelungan, tidak bepergian. Amati lelanguan, tidak menikmati hiburan. Amati geni, tidak menyalakan api. Amati karya, tidak bekerja.
Di awal Sasih Kedasa saat dunia hening, saat hanya ada diri sendiri dalam ruang sunyi, semoga ada kesempatan untuk bertanya dalam hati: Sudahkah kita berjalan dalam jalan terang? Atau hanya larut dalam gemerlap dan semaraknya ngerupuk?
Anak-anakku, renungkanlah. Nyepi bukan sekadar ritual. Ia adalah awal dari perjalanan baru yang kedas. Maka itu, songsonglah hidup dalam terang Sasih Kedasa, dalam makna yang sesungguhnya. Sebab, dalam sunyi, kebenaran sering kali lebih nyaring terdengar.
Selamat menunaikan catur brata nyepi, Selamat tahun baru saka 1947; semoga semua berbahagia……..
Denpasar 28 Maret 2025