Dharma yang (Belum) Diperjuangkan, Renungan Galungan

0
57
Foto : Dok - Fajarbadung/Chris

Oleh Wayan Suyadnya

Hari ini, Selasa Wage Dungulan, umat Hindu Bali memasuki Penampahan Galungan.

Besok adalah Budha Kliwon Dungulan, puncak Galungan, dan lusa Kamis Umanis, disebut Manis Galungan.

Dalam keriuhan suasana penampahan, di sela wewangian lawar dan harum dupa yang sudah mulai menyapa, mari kita duduk sejenak dan merenung: benarkah kita merayakan kemenangan?

Galungan diyakini sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma, cahaya yang mengalahkan kegelapan, kebaikan yang menaklukkan kejahatan.

Sebuah pertanyaan mendasar sering luput ditanyakan: kapan perang itu terjadi?

Siapa yang melawan siapa? Dan dharma yang mana yang telah kita menangkan?

Mari bandingkan dengan Nyepi. Saat Nyepi, kita menjalankan Catur Brata Penyepian—amati geni, amati karya, amati lelungan, amati lelanguan.

Ketika kita mampu menahan diri dari menyalakan api, tidak bekerja, tidak bepergian, dan tidak menikmati hiburan, saat itulah kita melawan—melawan keinginan, kebiasaan, dan kenyamanan diri sendiri.

See also  Teriakan "Sambo" dalam Thought Experiment

Maka, kemenangan itu terasa nyata, karena ada perjuangan, ada perlawanan, ada yang kita taklukkan; keiinginan dan hawa nafsu.

Tapi Galungan? Kita tiba-tiba menyatakan diri menang, berpakaian indah, membawa punjung, menghaturkan jerimpen, dan saling berkunjung.

Apakah benar kita telah melewati medan perang batin? Apakah kita hanya merayakan tradisi tanpa menghidupi makna terdalamnya?

Mari kita bedah dengan tiga kerangka utama ajaran Hindu: tatwa, susila, dan upakara.

Dari sisi upakara, kita sudah menyiapkan banten, menghaturkan punjung, dan menyambut leluhur. Tapi apakah semua itu hanya seremonial tanpa pemahaman?

Dari sisi susila, kita datang ke pura, sembahyang, saling bermaafan, berkumpul dalam keluarga. Tapi apakah perilaku kita sungguh mencerminkan nilai-nilai kebajikan? Atau hanya rutinitas simbolik enam bulan sekali?

See also  Indonesia Bebas Korupsi, Belajar dari Negara Inggris dan Denmark

Lalu dari sisi tatwa, ajaran yang menjadi jiwa upacara dan perilaku, kita meyakini Galungan sebagai kemenangan dharma. Namun, jika dharma belum pernah dipertaruhkan, bagaimana bisa kita menangkan?

Mungkin, ini saatnya menimbang kembali makna Galungan: bukan sekadar ritual yang diulang tiap 210 hari, tapi panggilan untuk berani berperang.

Perang melawan kemalasan untuk memahami, melawan egoisme dalam keluarga, melawan arogansi atas nama adat dan tradisi. Perang melawan adharma yang menyamar menjadi rutinitas kosong.

Hari ini Penampahan. Hari menyiapkan diri. Bukan hanya memotong babi, tetapi juga memotong keangkuhan dan kemalasan jiwa.

Besok, Galungan: semoga menjadi kemenangan atas diri sendiri yang lama hidup dalam zona nyaman.

See also  Menghindari Kemacetan saat Upacara IBTK di Besakih; belajar dari Liburan Kintamani

Lusa, Manis Galungan: semoga menjadi hari menikmati manisnya damai setelah lelah dalam keseharian terus berperang.

Karena Galungan yang sejati, bukan tentang hura-hura kemenangan, tapi tentang kesadaran bahwa kemenangan dharma hanya milik mereka yang sungguh-sungguh berperang.

Rahajeng Galungan lan Kuningan; dumogi rahayu sareng sami.

Denpasar, 22 April 2025

(Visited 3 times, 1 visits today)