Oleh: Agus Widjajanto
Negara kita harus belajar dari Negara Denmark dan juga Inggris, dua negara maju yang indeks korupsinya sangat rendah. Menurut laporan Global Transparency International tahun 2021 menduduki peringkat pertama dalam pemberantasan korupsi, dimana dapat nilai indeks 88 dari nilai acuan 100.
Di Denmark, lembaga antikorupsi tidak dipimpin polisi atau pejabat antikorupsi melainkan lembaga Ombudsman dan Oditur Negara yang terintegrasi langsung dengan pemerintah.
Semua warga negara dalam negara hukum, penguasa sebagai pengatur dan rakyat, pihak yang diatur, dimata hukum adalah sama dan sederajat (equality before the law). Baik yang mengatur maupun yang diatur memiliki satu pedoman yang sama yaitu peraturan perundang-undangan.
Sistem peradilan pidana di Indonesia ditengarai telah lama menjadi industri hukum sebagaimana diungkapkan Menkopolhukam, Mahfud MD dalam forum ILC pada 11 Februari 2020. Harus diakui, masih ditemukan praktik penyimpangan dalam penegakan hokum. Padahal telah ada KPK sebagai badan antikorupsi, di samping Kejaksaan Agung dan Bareskrim Mabes Polri.
Negara kita harus belajar dari Negara Denmark dan juga Inggris, dua negara maju yang indeks korupsinya sangat rendah. Menurut laporan Global Transparency International tahun 2021 menduduki peringkat pertama dalam pemberantasan korupsi, dimana dapat nilai indeks 88 dari nilai acuan 100.
Di Denmark, lembaga antikorupsi tidak dipimpin polisi atau pejabat antikorupsi melainkan lembaga Ombudsman dan Oditur Negara yang terintegrasi langsung dengan pemerintah. Ombudsman tidak bisa berjalan dengan baik dan optimal bila penegak hukumnya juga tidak baik. Ombudsman Denmark didirikan pada tahun 1955 sebagai lembaga independen, yang merupakan sarana kepentingan publik yang berporos pada pemerhati transparansi, akuntabilitas dan efisiensi pemerintahan serta memiliki tanggung jawab sebagai pengawas, penasihat, dan penyidik terhadap pejabat yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Kebijakan transparansi di bawah skema keterbukaan yang dilakukan sejak tahun 2009 menjadi upaya pengawasan efektif dalam memantau perilaku para pejabat. Politisi di Denmark menjadi panutan masyarakat dengan gaya hidup sederhana seperti bekerja dengan mengendarai sepeda ontel dan jas dengan harga murah. Parlemen Denmark mempunyai komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi. Bandingkan dengan Indonesia!
Sementara di Inggris dengan sistem hukum yang kuat dengan peraturan yang sangat ketat dan mekanisme penegakan hukum yang efektif sangat berperan dalam pencegahan dan penindakan korupsi. Inggris sama dengan Denmark, mempunyai lembaga pengawasan independen dalam penindakan dan pencegahan. Lembaga tersebut berwenang memeriksa pelanggaran etika pejabat pemerintah.
Adanya budaya antikorupsi dimana digalakkan pentingnya akuntabilitas dan integritas. Budaya ini dapat mengurangi toleransi dalam perbuatan korupsi dan media yang bebas dan independen yang dapat menjadi pengawas serta dinamisator dan stabilisator dalam transparansi dan akuntabilitas.
Di Inggris menurut sejarawan Peter Caray, pertarungan korupsi terjadi paling sengit dalam 50 tahun terakhir ini. Seharusnya Indonesia meniru cara Inggris dalam pemberantasan korupsi dengan beberapa langkah kebijakan diantaranya, menaikan remunerasi bagi hakim dan penegak hukum serta pegawai negeri.
Di Inggris remunerasi hakim dinaikan hingga 500 persen. Ini dilakukan untuk agar hakim tidak lagi terpengaruh iming iming para pihak dalam perkara. Langkah kedua adalah mendirikan komite khusus di parlemen yang tugasnya memeriksa laporan keuangan negara yang terdiri dari Tujuh orang yang dipandang mempunyai integritas dan kapabilitas mumpuni. Komite khusus ini di angkat dan disumpah langsung oleh Raja Inggris. Langkah lain yang paling penting menurut Peter Caray adalah menggalakan revolusi mental dengan cara pendekatan agama dan filsafat ultilarianisme, yaitu memaksimalkan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Langkah ini dikenal dengan Doktrin ultilarianisme di populerkan oleh Jeremi Bhetam dan adiknya Samuel Bhetam yang menitik beratkan pada efisiensi , persahabatan dan integritas dalam pemerintahan. Hal ini patut jadi pembelajaran bagi bangsa ini kedepan, khusus nya revolusi mental.
Kedua negara, Inggris dan Denmark memiliki sistem yang kuat, tranparan dan akuntabel dan ditangani oleh pihak yang benar benar independen.
Sementara di Indonesia, walaupun sudah memiliki lembaga Ombudsman, KPK, Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri, tetapi struktur hukum tersebut belum bisa menekan korupsi. Mengaminkan pernyataan Menkopolhukam, karena sering terjadi peradilan yang aneh, perdata dijadikan pidana, kepentingan politik dibawa ke ranah hukum begitu juga proses hukumnya.
Apabila saat ini penegak hukum lebih berorientasi pada kepentingan untung rugi (dagang), keadaan ini mirip dengan tontonan atas peradilan di Amerika sebagaimana dikatakan William T. Pizzi, pakar hukum Amerika dalam pembelaannya yang sangat fenomenal: Trial Without Trust (peradilan sesat).
Dengan kondisi saat ini, ada beberapa hal menjadi pemicu kondisi tersebut antara lain, Sistem dimana kita mempunyai sistem yang sangat menunjang terjadinya korupsi. Salah satunya adalah sistem pemilu langsung, untuk pemilihan kepala daerah baik Gubernur, Walikota atau Bupati maupun Presiden. Sistem ini memerlukan biaya atau cost yang begitu tinggi. Antara modal dengan pendapatan sangat tidak berimbang, meskipun ada upaya untuk melakukan korupsi. Hal ini seperti lingkaran setan yang tidak mungkin dicegah oleh penegak hukum, maka tidak heran banyak kasus kepala daerah terjerat korupsi.
Pemicu lainnya adalah “Budaya”. Korupsi sulit diubah karena kondisi ekonomi yang diakibatkan sistem yang membuat kesejahteraan tidak merata. Kaya makin kaya yang miskin tetap saja miskin. Fakta yang bertentangan dengan cita-cita Proklamasi dan esensi Kontitusi kita.
Faktor lainnya adalah Peraturan Perundang -undangan, yang kadang ambivalen atau tidak tegas, baik tujuan pencegahan maupun dalam penindakan. Contohnya Pasal 4 UU Tipikor yang berbunyi: “Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3”. Konsekuensi bunyi pasal tersebut membuat para tindak pidana korupsi cenderung memilih pasang badan ketimbang menyerahkan kerugian baik berupa gratifikasi maupun hasil korupsinya.
Hal ini merintangai upaya pengembalian kerugian negara. Lain halnya apabila pasal tersebut berbunyi, “Apabila pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan kerugian negara atau perekonomian negara, maka dapat dipertimbangkan dan/atau tidak akan dituntut pidana”. Begitu pula sebaliknya, “Apabila ternyata terbukti tidak mau mengembalikan kerugian negara dan atau perekonomian negara, pelaku akan dijatuhi pidana maksimal beserta denda disertai perampasan seluruh aset yang ada “.
Oleh karena itu, perlu kemauan bersama untuk memperbaiki, baik dari segi sistem, mental maupun politik, pemegang kebijakan yakni Pemerintah, DPR, maupun para penegak hukum. Dengan rendahnya tingkat korupsi tentu akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan negara untuk kesejahteraan Bersama.
Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Sejarah tinggal di Jakarta