DENPASAR, Fajarbadung.com– Peraturan Gubernur Tentang Pengolahan Sampah langsung di sumbernya sudah diluncurkan. Namun menurut Gubernur Bali I Wayan Koster, penekanannya atau efektif berlakunya yakni sejak awal tahun 2020 nantinya. Usai dilaunching, Pergub Pengolahan Sampah langsung di sumber tersebut akan disosialisasikan secara masif berbasis banjar, desa dan kelurahan. “Awal tahun 2020 kita akan berlakukan secara gencar yang langsung akan dimulai dari desa adat di seluruh Bali,” ujarnya. Tahun 2020 akan ketat diberlakukan.
Menurut Koster, pemberlakuan akan disosialisasikan lewat desa adat di Bali yang jumlahnya sudah mencapai 1493 desa adat. Bukan tidak mungkin nanti banyak desa adat di Bali yang akan memasukan pengolahan sampah berbasis sumber ini ke dalam awig-awig atau perarem atau peraturan yang berlaku di desa adat. Peraturan itu akan mengikat seluruh warganya dan akan ada sanksi secara adat bila ada yang melanggarnya. Secara singkat, Pergub tersebut mengatur soal pengolahan sampah yang langsung di sumbernya. Sampah itu akan diolah untuk menghasilkan kompos atau pupuk organik. Pupuk itu bisa dikonsumsi sendiri atau dijual ke pemerintahan atau kelompok tani yang membutuhkan. Sedangkan sampah anorganik akan dikumpulkan karena sudah pasti memiliki nilai ekonomi. Warga yang kesulitan karena ketiadaan lahan maka akan diatur bersama banjar setempat untuk dikelolah secara komunitas. “Intinya, yang dibawa ke TPA itu bukan sampahnya melainkan residunya atau sisa-sisa pengolahan di sumber sampah,” ujarnya.
Akademisi dari Universitas Udayana Bali Ni Luh Kartini menyambut baik Pergub Pengolahan Sampah yang langsung di sumber sampah. “Ini adalah awal yang baik untuk merealisasikan Bali sebagai pulau organik. Disinilah aksi nyatanya. Selama ini baru sebatas wacana Bali sebagai pulau organik. Sekarang sudah mengawalinya secara benar,” ujarnya. Wanita yang dijuluki ahli tanah tersebut menjelaskan, jika semua rumah tangga di Bali sudah mampu menghasilkan pupuk organik maka cepat atau lambat Bali akan berubah menjadi pulau organik. Sebab, tidak ada lagi yang menggunakan pupuk kimia. Kalau pun rumah tangga di Bali mengolah sendiri sampah menjadi pupuk organik maka hasilnya bisa dijual kepada petani atau kelompok tani yang membutuhkan dengan harga yang proporsional.
Dosen di Fakultas Pertanian Universitas Udayana tersebut mengingatkan, jika Pergub Bali itu memang tidak ada sanksinya. Namun dia berharap sanksi itu bisa diterapkan dengan regulasi yang ada di atasnya. Selain itu, bila Pergub ini langsung terintegrasi dengan desa adat di Bali maka desa adat akan mengaturnya dengan perarem atau awig-awig. Sanksinya jelas melalui institusi adat. Efeknya akan dirasakan 10 sampai 20 tahun mendatang. “Jadi yang dipersoalkan kalau Bali ini banyak sampah, dan bisa bermasalah bagi pariwisata maka yakinlah sebentar lagi Bali akan berubah menjadi pulau organik,” ujarnya.(axele dae/fb)